BANDUNG. – Al-Quran adalah Kalamullah. Seluruh isi Al-Quran adalah petunjuk bagi kebahagiaan hidup manusia. Ibarat mata air, membaca dan mendengarkan bacaannya akan menghilangkan dahaga. Ibarat sinar mentari, memahaminya akan memberikan kehangatan dan menjadi penerang jalan; penyingkap kegelapan. Ibarat vitamin otak, menghafalkannya menguatkan ingatan dan mencegah kepikunan. Mengamalkan isi Al-Quran adalah mengisi kekosongan ruhani pada energi abadi yang tidak pernah habis.
Remaja awal adalah usia penuh potensi. Perkembangan fisiknya yang sangat pesat. Mampu menggunakan pikiran logis dan abstrak. Gemar pada literatur-literatur fantastik dan estetik. Bergantung pada kelompok sebaya dan kritis terhadap nilai-nilai etis yang berlaku di masyakarat.
Dalam bahasa Arab, Remaja disebut “fityah”, bermakna muda-mudi yang memiliki sifat pemurah. Tetapi, di usianya yang belia, mereka butuh fatwa, petuah, dan arahan dari orang yang memiliki ilmu luas, pengalaman yang dalam, dan kebijaksanaan yang tinggi. Sumber keluasan ilmu, kedalaman pengalaman, dan ketinggian kebijaksaan adalah Ahlul-Quran, yaitu orang-orang yang senantiasa berinteraksi dengan Al-Quran.
Menghafal Al-Quran dianggap berat oleh sebagian orang, termasuk oleh remaja. Sebagian pakar psikologi pendidikan bahkan menganggapnya sebagai aktivitas yang merusak potensi remaja. Benarkah demikian? Belum ada bukti ilmiah yang bisa dipertanggungjawabkan bahwa aktivitas menghafal Al-Quran dapat merusak potensi. Bahkan sebaliknya, fakta sejarah telah membuktikan bahwa para ulama dan cendekiawan muslim dari zaman ke zaman adalah mereka yang masa mudanya menyibukkan diri dengan menghafal Al-Quran dan al-hadits. Bercermin pada kegemilangan sejarah pendahulu adalah kunci kejayaan di masa depan.